Selasa, 28 Oktober 2025
Akademik dan Pendidikan / Rabu, 20 Agustus 2025
Oleh: Aurel jihan fahristy

dateline

Bagi sebagian besar mahasiswa, kata “deadline” bukan lagi sekadar batas waktu, melainkan pemicu semangat yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Tak sedikit yang mengaku lebih fokus, ide lebih mengalir, bahkan bisa menyelesaikan tugas dalam satu malam padahal sudah berhari-hari menunda. Fenomena ini dikenal dengan istilah “deadliner”.

Di berbagai kampus, cerita soal begadang semalaman sebelum tugas dikumpulkan sudah jadi hal lumrah. Ada yang sampai rela menahan kantuk di perpustakaan, ada juga yang memilih nongkrong di kafe 24 jam hanya untuk memastikan jaringan internet tetap stabil. Anehnya, meski waktu sangat mepet, banyak tugas justru selesai lebih cepat dibanding saat dikerjakan jauh-jauh hari.

Psikolog menyebut fenomena ini berhubungan dengan tekanan adrenalin dan rasa urgensi. Ketika waktu terasa sempit, otak manusia secara alami mengaktifkan mode “fight or flight” di mana fokus meningkat, distraksi berkurang, dan produktivitas bisa melonjak drastis. Tidak heran jika banyak mahasiswa mengaku lebih “hidup” ketika bekerja di bawah tekanan.

Namun, menjadi seorang deadliner juga punya sisi gelap. Kesehatan fisik sering jadi korban, mulai dari pola tidur berantakan, konsumsi kafein berlebihan, hingga stres yang menumpuk. Belum lagi risiko hasil pekerjaan yang kurang maksimal jika waktu benar-benar tak mencukupi.

Meski begitu, bagi sebagian mahasiswa, gaya kerja ini justru dianggap sebagai strategi bertahan. “Kalau nggak dikejar deadline, rasanya otak nggak jalan,” ujar salah satu mahasiswa di sebuah kampus negeri. Ada semacam keyakinan bahwa kreativitas baru benar-benar keluar ketika jam sudah mendekati garis akhir.

Fenomena deadliner akhirnya membentuk budaya tersendiri di kalangan mahasiswa: tugas bukan hanya tentang isi, tapi juga cerita bagaimana perjuangan menyelesaikannya di detik-detik terakhir. Entah itu dikerjakan sambil ditemani kopi sachet, musik kencang, atau bahkan lewat sesi kerja kelompok mendadak.

Jadi, apakah menjadi deadliner itu buruk? Tidak sepenuhnya. Selama masih bisa menjaga kesehatan dan hasil pekerjaan tetap baik, gaya ini bisa jadi cerminan bahwa mahasiswa punya kemampuan adaptasi yang unik. Namun, tentu akan lebih ideal jika produktivitas tidak selalu bergantung pada tekanan waktu.

Pada akhirnya, fenomena deadliner bukan sekadar kebiasaan menunda, melainkan potret nyata bagaimana mahasiswa menghadapi tekanan hidup kuliah. Sebuah ironi di mana produktivitas justru lahir dari keterdesakan waktu.

Newsletter

Ingin tahu perkembangan berita, artikel, opini dan karya sastra dari kami? Drop email anda untuk berlangganan

Keamanan email anda menjadi prioritas keamanan kami

Risalah Maritim

Ingin baca cerita inspiratif, berita terupdate dan karya menarik? Kami hadir untuk mendorong literasi di kalangan muda

Tautan Cepat

Logo UKM dan Universitas

Logo UKM Jurnalistik Risalah Maritim Logo UMRAH

© 2024 Risalah Maritim. Developed by Aidil Baihaqi