Pernah nggak sih, lagi makan di luar, pesen menu mahal, tempat fancy, tapi tiba-tiba keinget satu hal kecil yang bikin dada sesak? Telur ceplok buatan ibu, benerr cuma sesimpel itu. Buat orang lain, mungkin cuma lauk darurat. Tapi buat anak rantau, itu bisa jadi rasa paling mahal yang nggak bisa diganti sama apapun.
Telur ceplok buatan ibu tuh rasanya beda. Nggak tahu ya, entah karena tangannya, cara masaknya, atau karena sambil dimasakin itu ibu juga sambil cerita, kadang sambil marah-marah kecil, kadang sambil nanya kita mau nambah nasi apa nggak. Tapi semuanya terasa hangat. Kayak kita dilindungi. Kayak kita diingetin: “Nggak apa-apa capek, sini istirahat dulu.”
Di rantau, kita belajar banyak hal mulai dari mandiri, kuat, tahan air mata, tahan lapar, tahan rindu. Tapi rindu yang paling nyesek kadang bukan soal rumah aja, tapi soal hal-hal kecil yang biasa banget kayak telur ceplok tadi. Di rumah, semuanya terasa sederhana tapi penuh. Di sini, di perantauan, semuanya terasa ramai tapi sering kosong. Makanya kadang, waktu hidup mulai terasa berat, yang kita rindukan bukan liburan ke luar negeri, bukan kafe hits, bukan tempat fancy. Tapi cuma pengen duduk di dapur, liat ibu ceplokin telur sambil nyuruh kita ngambil nasi sendiri.
"Karena sebenernya tuh healing itu bukan soal ke mana, tapi pulang ke siapa. Dan kadang, kita cuma butuh satu hal kecil buat jadi utuh lagi kayak telur ceplok buatan ibu."