Tanjungpinang – Dua hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Tugu Proklamasi di Tanjungpinang menjadi saksi lantangnya suara para penyair. Sebanyak 24 tokoh dari berbagai latar belakang, mulai dari sastrawan, dosen, pejabat, politisi hingga mantan kepala daerah, bersatu dalam Parade Puisi Kemerdekaan, Kamis (15/8) malam.
Suasana dingin malam tak mampu meredam api semangat yang lahir dari bait-bait puisi. Setiap kata yang terucap seakan memecah langit Tanjungpinang, menghadirkan refleksi tentang perjuangan bangsa sekaligus menggugah kesadaran akan tantangan zaman. Ketua Perhimpunan Penulis Kepulauan Riau (PPKR), Husnizar Hood, menegaskan bahwa Parade Puisi ini bukan sekadar ajang baca karya. “Puisi adalah napas bangsa. Kata-kata mampu menyatukan kita, mengingatkan kembali pada rasa persatuan dan cinta tanah air,” ujarnya.
Kutipan mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, “Jika politik kotor, puisi akan membersihkannya,” menjadi benang merah dalam pentas tersebut. Di tengah realitas bangsa yang masih dibayangi korupsi dan kesenjangan, puisi hadir sebagai pengingat moral dan nurani.
Parade dimulai dengan lantang oleh Rida K. Liamsi, tokoh senior yang dikenal sebagai Raja Koran Sumatera. Di usia yang lebih tua dari republik ini, Rida tetap tampil penuh wibawa membacakan puisinya sendiri. Gestur ekspresif mewarnai panggung. Kepala Dinas Dukcapil Tanjungpinang, Wan Syamsi, membawakan puisi dengan pelite di tangannya, seakan melambangkan cahaya perjuangan. Sementara Tarmizi “Rumah Hitam”, penyair lintas negara asal Batam, tampil khas dengan tanjak dan busana Melayu. Selain menulis puisi, Tarmizi dikenal sebagai pengrajin tanjak dan perlengkapan busana tradisi. “Berjualan inilah sumber rezeki saya,” ujarnya suatu kali. Ia datang ke Tanjungpinang dengan mobil pribadi, ditemani tiga penyair perempuan asal Batam yang juga ikut ambil bagian.
Mastur Taher, mantan Wakil Bupati Bintan, turut memberikan warna berbeda. Di usia 58 tahun, ia membaca puisi dengan energi yang mengingatkan pada masa mudanya. Rambut mungkin telah memutih, namun suaranya masih sanggup membuat mikrofon bergetar. Kini, Mastur lebih banyak mengisi hari sebagai penyiar radio dan penceramah, hidup sederhana dengan motor Vario hitam kesayangannya. Penonton juga sempat dibuat terkejut dengan penampilan Priyo Handoko dari Komisi Pemilihan Umum Kepri, yang membuka puisinya dengan menyebut satu per satu kuliner khas Melayu, mulai dari lendot, prata, mie lendir, hingga nasi lemak, sebagai simbol kerinduan akan kawan-kawan seperjuangan di masa Reformasi.
Dari panggung birokrat, politisi, hingga seniman, perhatian penonton juga tertuju pada akademisi. Sorotan lain datang dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), kampus negeri kebanggaan masyarakat Kepri. Robby Patria, dosen UMRAH sekaligus sastrawan, tampil membacakan puisi yang memperkaya warna parade malam itu. Kehadiran akademisi UMRAH di panggung ini menegaskan peran kampus maritim tersebut bukan hanya sebagai pusat ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang yang terus melahirkan intelektual yang peduli pada budaya dan bangsa.
Pentas ditutup dengan penuh wibawa oleh Abdul Kadir Ibrahim, salah satu deklarator Hari Puisi Indonesia. Dengan gaya khasnya, ia membacakan puisi bertema perjuangan yang menutup malam dengan energi sempurna. Sekretaris PPKR yang juga tampil membacakan “Huesca” karya John Cornford (diterjemahkan Chairil Anwar), menegaskan harapan agar panggung puisi dapat terus hidup, baik dengan maupun tanpa dukungan pemerintah. “Kalau pun pemerintah mati rasa, kita bisa urunan. Yang penting puisi tetap menyala,” ucapnya.
Lebih dari sekadar pertunjukan seni, Parade Puisi Kemerdekaan di Tugu Proklamasi menjadi ruang silaturahmi dan refleksi bersama. Di tengah arus globalisasi dan derasnya politik praktis, puisi membuktikan dirinya masih punya ruang di hati masyarakat, mengikat sejarah, merawat budaya, sekaligus menyalakan bara cinta tanah air.